ILMU
BUDAYA DASAR DAN KESUSTRAAN
Ilmu Budaya Dasar secara sederhana adalah
pengetahuan yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang
konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah manusia dan kebudayaan .
Suatu karya dapat saja mengungkapkan lebih dari satu masalah, sehingga ilmu
budaya dasar bukan ilmu sastra, ilmu filsafat ataupun ilmu tari yang terdapat
dalam pengetahuan budaya, tetapi ilmu budaya dasar menggunakan karya yang
terdapat dalam pengetahuan budaya.
Pengetahuan budaya mengkaji masalah nilai-nilai
manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan ilmu budaya dasar
bukan ilmu tentang budaya, melainkan mengenai pengetahuan dasar dan pengertian
umum tentang konsep-konsep.
Pokok-pokok yang terkandung dari beberapa devinisi
kebudayaan:
1.
Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia sangat beragam.
2.
Kebudayaan didapat dan diteruskan melalui pelajaran.
3.
Kebudayaan terjabarkan dari komponen-komponen biologi, psikologi dan
sosiologi.
4.
Kebudayaan berstruktur dan terbagi dalam aspek-aspek kesenian, bahasa,
adat istiadat, budaya daerah dan budaya nasional.
Ilmu Budaya Dasar Merupakan Pengetahuan Tentang
Perilaku Dasar-Dasar Dari Manusia. Unsur-unsur kebudayaan:
1.
Sistem Religi/ Kepercayaan.
2.
Sistem organisasi kemasyarakatan.
3.
Ilmu Pengetahuan.
4.
Bahasa dan kesenian.
5.
Mata pencaharian hidup.
6.
Peralatan dan teknologi.
Karya sastra adalah penjabaran abstraksi,namun
filsafat yang menggunakan bahasa juga disebut abstrasi. Maka abstrak adalah
cinta kasih, kebahagian, kebebasan dan lainnya yang digarap oleh filsafat.
Dalam kesusastraan IBD dapat dihubungkan meliputi: Bahasa, Agama, Kesusastraan,
Kesenian dll. Mengikuti pembagian ilmu pengetahuan seperti tersebut diatas maka
Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya Dasar adalah satuan pengetahuan yang dikembangkan
sebagai usaha pendidikan.
Konsep-konsep sosial dibatasi pada konsep dasar
atau elementer saja yang sangat diperlukan utntuk mempelajari masala-masalah
social yang dibahas dalam ilmu pengetahuan sosial, contohnya: Keanekaragaman
dan konsep kesatuan sosial bertolak .
Tanpa ada maksud menciptakan dikotomi dalam
kesusastraan, ada perbedaan antara literatur biasa dengan sastra. Sastra
memiliki sense of love yang lebih representatif. Sebagai contoh, literatur
ekonomi dapat saja mencatat angka-angka.
Ada benang merah yang menyatukan konsep kebudayaan
kita. Tidak heran apabila para pendiri bangsa mampu melebur diri dalam Bhineka
Tunggal Ika. Kearifan budaya lokal masih kuat.
Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan.
Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang
ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci,
surat-surat, undang-undang, dan sebagainya.
Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam
konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi,
pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya
manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan
dan pemikirannya. Secara morfologis, kesusastraan dibentuk dari dua kata, yaitu
su dan sastra dengan mendapat imbuhan ke- dan -an. Kata su berarti baik atau
bagus, sastra berarti tulisan. Secara harfiah, kesusastraan dapat diartikan
sebagai tulisan yang baik atau bagus, baik dari segi bahasa, bentuk, maupun
isinya.
Contoh Kasus :
Okky
Madasari dan sastra penggugah kesadaran
Okky Madasari, penulis novel dan pemenang
penghargaan sastra Khatulistiwa 2012 melalui novelnya yang berjudul Maryam,
dikenal melalui karya-karyanya yang sarat kritik sosial.
Melalui novel Maryam (2012), perempuan
kelahiran 1984 ini mengungkap pengusiran warga penganut Islam Ahmadiyah oleh
kelompok penentangnya di Nusa Tenggara Barat.
Dan tiga novel karyanya, Entrok (2010), 86
(2011) dan Pasung Jiwa (2013) yang masuk nominasi penghargaan tersebut,
juga bergenre realis.
"Sejak awal saya percaya bahwa karya sastra
itu seharusnya bisa menyuarakan persoalan-persoalan dalam masyarakat,"
kata Okky Madasari dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder
Affan, Jumat (27/03) di kediamannya.
"Saya tentu membuat cerita bukan sekedar untuk
senang-senang, bukan sekedar sebagai hiburan, atau justru sebagai pengantar
tidur," lanjut mantan wartawan ini.
Hak atas foto okkymadasari.net Image caption Okky
Madasari (kanan) dalam sebuah festival sastra di Prancis, Oktober 2014, yang
antara lain membahas karya-karyanya.
Dengan kalimat bernada tegas, ibu satu anak ini
meyakini bahwa ketika dirinya menulis karya sastra seharusnya bisa menggugah kesadaran
pembacanya.
"Bisa memberi perspektif baru bagi pembaca,
bisa melahirkan jiwa-jiwa baru bagi pembaca, sehingga kita bisa mengubah
kondisi yang ada," jelas Okky yang mengaku sangat dipengaruhi Pramoedya
Ananta Toer ini dan karya-karyanya.
("Keteguhan hati dan ketetapan sikap dan
bagaimana kita memiliki posisi yang jelas dalam berbagai persoalan
masyarakat," ungkapnya lebih lanjut, tentang tauladan yang dia peroleh
dari sosok Pramoedya Ananta Toer)
Dia mengakui karya sastra bekerja sangat pelan,
sangat individual. Dia lantas mencontohkan ketika dia menulis buku Maryam yang
dilatari pengusiran umat Islam Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat.
Hak atas foto okky madasari.net Image caption Tiga
novel karya Okky Madasari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
"Tidak bisa kemudian apa yang terjadi di sana
kemudian dihentikan. Itu bukan tugas karya sastra," tandas perempuan
kelahiran Magetan, Jawa Timur, 30 Oktober 1984 ini.
Bikin mural puisi
Bagaimanapun, sebagai penulis, Okky mengaku
terkadang dihadapkan pada situasi yang membuat dirinya bertanya-tanya apakah
pesan dalam karyanya sampai dan diterima oleh pembacanya.
Dengan nada suara agak tercekat, dia kemudian mencontohkan
situasi batinnya ketika dia menulis novel Maryam yang berlatar
pengusiran warga Islam Ahmadiyah.
"Itu saya tulis pada tahun 2012 dan sampai
saat ini mereka masih tinggal di pengungsian yang sama. Nah itu kan melahirkan
pertanyaan besar: 'aduh, ada gunanya nggak sih (menulis novel
tersebut)', perlukah saya menulis ini, toh mereka masih berada di
situasi yang sama," akunya.
Image caption Ditanya apakah dia pernah
"tergoda" untuk melangkah lebih jauh, misalnya unjuk rasa, ketika
menyadari sisi "kelemahan" karya sastra, Okky mengatakan:
"Selain menulis sastra, saya juga mencoba untuk menuangkan kegelisahan-kegelisahan
saya melalui berbagai aktivitas."
Tetapi, sambungnya cepat-cepat, "sastra
bekerja dengan pelan-pelan dan dalam waktu yang tidak cepat." Nada suara
Okky kembali seperti sedia kala.
Di sinilah, akunya, menjadi tugas jurnalistik
melakukan dorongan agar pemerintah melakukan memperhatikan nasib para pengungsi
Islam Ahmadiyah tersebut.
"Yang saya lakukan adalah tetap menghadirkan
sebuah cerita yang tentu memiliki dampak besar jika para pengambil keputusan
itu membacanya," katanya.
Di sisi lain, menurutnya, Okky tetap meyakini bahwa
karya-karyanya mampu mempengaruhi para pembacanya. "Bagaimana mereka
sekarang lebih bisa menerima perbedaan, misalnya."
Hak atas foto okky madasari.net Image caption Okky
Madasari mengatakan: "Dunia digital sudah melahirkan banyak sekali penulis
muda yang tidak bisa dipandang sebelah mata."
Ditanya apakah dia pernah "tergoda" untuk
melangkah lebih jauh, misalnya unjuk rasa, ketika menyadari sisi
"kelemahan" karya sastra, Okky mengatakan: "Selain menulis
sastra, saya juga mencoba untuk menuangkan kegelisahan-kegelisahan saya melalui
berbagai aktivitas."
"Seperti waktu saya dan teman-teman Yayasan
Muara, membuat mural-mural puisi di titik-titik strategis di Jakarta. Ada puisi
Widji Thukul, puisi Rendra. Itu 'kan cara membuat orang yang jauh dari membaca
sastra, itu bisa seperti diingatkan," ungkap istri Abdul Khalik ini.
Pada Februari 2014 lalu, Okky juga menggelar acara Run
to remember untuk mengingatkan masyarakat dan memotivasi anak muda untuk
bergerak menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Sastra di dunia internet
Festival Sastra Asean atau Asean Literary Festival 2015, yang digelar pertengahan Maret lalu, mengungkit
kembali isu sensitif di kalangan penikmat sastra yaitu tentang karya sastra
anak-anak muda yang dilahirkan melalui media internet.
Hak atas foto okkymadasari.net Image caption Okky
Madasari (kanan) dalam acara peluncuran novel "Pasung Jiwa" pada 2013
lalu.
"Apakah digital media menjadi ancaman atau
menjadi alat membantu mengembangkan sastra," kata Okky, pendiri acara
tersebut, tentang isu utama dalam diskusi-diskusi di acara tersebut.
Alih-alih mempertanyakan, Okky malah mendukung
keberadaan karya sastra anak muda yang tumbuh dan berkembang melalui media
sosial.
"Dunia digital sudah melahirkan banyak sekali
penulis muda yang tidak bisa dipandang sebelah mata," katanya.
Sejumlah penulis muda yang menulis di media sosial,
kata Okky, karya-karyanya lebih cepat menyebar dan banyak dibaca oleh khalayak.
"Nah, yang seperti ini tidak bisa kita
menganggap remeh lalu mengatakan ini 'Ah ini 'kan karya internet'."
Hak atas foto okkymadasari.net Image caption Okky
Madasari dan suaminya, Abdul Khalik, dalam sebuah acara.
Justru sebaliknya, lanjutnya, dirinya dan
kawan-kawannya kemudian memberi ruang agar karya-karya "internet"
("yang berkualitas, tentu saja,"kata Okky) seperti itu diakomodasi
dalam festival sastra tersebut.
"Dan akhirnya bisa menjadi bagian penting dari
produk budaya zaman ini, karena internet adalah sesuatu yang tidak bisa kita
abaikan," tandasnya.
Penulis muda tidak mendapat tempat
Ditanya apakah ini artinya selama ini para penulis
muda --yang menuliskan karya-karyanya di media sosial ini-- kurang mendapat
tempat di dunia sastra Indonesia kontemporer, Okky mengatakan "betul
sekali".
Seraya menyebut beberapa nama penulis muda yang
beberapa diantaranya masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, Okky mengatakan:
Masih jarang sekali kesempatan yang membuat mereka diketahui "apa yang
mereka pikirkan di balik karya-karyanya."
Hak atas foto okkymadasari.net Image caption
Sebagai novelis, Okky Madasari dikenal sebagai penulis produktif, yang ditandai
kelahiran empat novelnya dalam rentang waktu empat tahun.
Yang terjadi kemudian, katanya, tampilnya kembali
para penulis lama melalui karya-karyanya. "Ada istilah 4 L: Lu lagi, lu
lagi, lu lagi, lu lagi," ujar Okky dan disusul tawa kecil.
Situasi seperti inilah yang tidak dia inginkan
terulang lagi dalam festival sastra yang digelarnya itu. "Kami ingin memberi peluang
sebesar-besarnya kepada mereka yang masih belum mendapat kesempatan."
Tetapi bukankah tidak semua karya sastra anak-anak
muda tidak semua berkualitas? Tanya saya.
"Memang tidak terlalu banyak, tapi setidaknya
karya-karya penulis yang berkualitas sudah coba kita hadirkan dalam dua tahun
penyelenggaraan Asean Literaly Festival," katanya.
Image caption "Baru saat saya di Jakarta, saya
menjadi wartawan, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk membaca karya
sastra," jelas pengagum karya-karya penulis Rusia, Leo Tolstoy.
"Memang jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi
saya pikir harus selalu ada, akan selalu ada dan tetap akan kami hadirkan dalam
festival ini dari tahun ke tahun," kata Okky.
Rahasia menulis produktif
Sebagai novelis, Okky Madasari dikenal sebagai
penulis produktif, yang ditandai kelahiran empat novelnya dalam rentang waktu
empat tahun.
"Dalam rentang empat tahun itu, saya memang
sangat fokus menulis novel," aku lulusan jurusan Hubungan Internasional,
UGM, Yogyakarta ini.
Walaupun dia mengerjakan novel-novel itu sambil
menyelesaikan kuliah pasca sarjana di Universitas Indonesia, dia mengaku tidak
disibukkan kegiatan lain seperti bekerja.
Rahasia lainnya? Tanya saya. "Saya membuat
bagaimana menulis itu sebagai sebuah kebutuhan utama saya setiap hari. Jadi
saya menulis hampir separoh waktu saya setiap hari."
Hak atas foto okky madasari.net Image caption
"Keteguhan hati dan ketetapan sikap dan bagaimana kita memiliki posisi
yang jelas dalam berbagai persoalan masyarakat," ungkapnya lebih lanjut,
tentang tauladan yang dia peroleh dari sosok Pramoedya Ananta Toer
Lainnya? "Konsistensi dalam mengelola perhatian,
dalam mengelola energi dan tenaga. Karena novel ini sebuah karya yang ditulis
dalam waktu satu atau dua hari. Dalam kasus saya, menulis novel itu dibutuhkan
tiga bulan."
"Nah, bagaimana kita mengatur, mengelola
emosi, energi, perhatian kita untuk tetap menulis novel itu," ungkapnya
seraya menambahkan, internet merupakan "godaan" besar konsentrasinya
dalam menyelesaikan novelnya.
Membaca novel pemenang Nobel
"Barangkali saya akan lebih dini berkenalan
dengan sastra," jawab Okky saat saya tanya: apa yang akan dia lakukan jika
dia diberi kewenangan untuk mengulang waktu.
Dia kemudian mengungkap pengalaman masa kecilnya di
kota Magetan, Jawa Timur, yang disebutnya sulit mengakses karya-karya sastra
berkualitas, karena "tidak ada toko buku, perpustakaan dan buku-buku bagus
yang saya kenal."
"Sementara di sekolah, tidak didorong untuk
membaca sastra. Paling hanya kutipan-kutipan satu paragraf yang ada di buku
pelajaran," akunya.
Walaupun kemudian dia mendapatkan akses lebih besar
terhadap dunia sastra, saat kuliah di jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Okky mengaku belum mempunyai perhatian dan
kesadaran untuk membaca karya sastra.
Image caption "Saya membuat bagaimana menulis
itu sebagai sebuah kebutuhan utama saya setiap hari. Jadi saya menulis hampir
separoh waktu saya setiap hari," kata Okky Madasari tentang
"rahasia" menulis produktif.
"Baru saat saya di Jakarta, saya menjadi
wartawan, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk membaca karya
sastra," jelas pengagum karya-karya penulis Rusia, Leo Tolstoy.
Namun demikian, akunya, rentang waktu keintimannya
dengan bacaan sastra itu "masih belum cukup". "Tentu banyak
sekali karya (sastra) yang belum sempat saya baca," katanya.
"Jadi barangkali jika saya bisa mengulang
waktu, saya mau memulai membacanya (karya sastra) mulai sekolah dasar."
"Saya pikir, kalau saya bisa membacanya sejak
sekolah dasar, saya bisa menghasilkan karya yang lebih bagus," kata Okky
dan kemudian tertawa kecil.
Image caption Mengapa dia ingin menuntaskan membaca
buku-buku sastra peraih Nobel sastra, Okky berkata: "Proses ketika saya
intens membaca karya sastra itu yang memberi pengaruh saya terhadap kemampuan
saya menulis karya sastra."
Seraya menunjuk koleksi buku-bukunya di rak, Okky
lantas berkata bahwa dirinya belum membaca semua buku-buku miliknya,
diantaranya adalah buku-buku pemenang Nobel sastra dari tahun ke tahun.
("Kadang 'kan kita membeli buku, karena saya
ingin membaca seluruh buku-buku Nobel sastra. Kami sudah memilikinya, tapi
belum semuanya sempat terbaca, karena kendala waktu dan energi juga,"
katanya.)
Mengapa dia ingin menuntaskan membaca buku-buku sastra
peraih Nobel sastra, Okky berkata: "Proses ketika saya intens
membaca karya sastra itu yang memberi pengaruh saya terhadap kemampuan saya
menulis karya sastra."
Sumber berita:
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/04/150406_bincang_okkymadasari_senibudaya
Artikel
diambil dari :
https://radityakurnianto.wordpress.com/college-assignments/8th-semester/konsep-ilmu-budaya-dasar-dalam-kesusastraan/
Hasil Studi Kasus:
Keutuhan manusia sebagai pribadi dapat dimungkinkan
melalui pemahaman, penghayatan, dan meresapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam suatu karya seni rupa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan. Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi pikiran, perasaan dan kemauan
secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik
secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan
apresiatif.
Dalam
menyebarkan karyanya penulis memiliki keteguhan hati yang kuat. Mana kala
karyanya akan mendapatkan banyak respons dapat berupa pro dan kontra.
("Keteguhan hati dan ketetapan sikap dan
bagaimana kita memiliki posisi yang jelas dalam berbagai persoalan
masyarakat," ungkapnya lebih lanjut, tentang tauladan yang dia peroleh dari
sosok Pramoedya Ananta Toer) dikutip dari berita diatas.
Karya sastra bekerja sangat pelan, sangat
individual. Lantas mencontohkan ketika penulis menulis buku Maryam yang
dilatari pengusiran umat Islam Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat.
Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan.
Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang
ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci,
surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Masalah sastra dan seni sangat erat
hubungannya dengan ilmu budaya dasar, karena materi-materi yang diulas oleh
ilmu budaya dasar ada yang berkaitan dengan sastra dan seni.Budaya Indonesia
sanagat menunjukkan adanya sastra dan seni didalamnya.
- Kenyataan bahwa bangsa indonesia berdiri atas suku bangsa dengan
segala keanekaragaman budaya yg tercemin dalam berbagai aspek
kebudayaannya, yg biasanya tidak lepas dari ikatan2 primordial, kesukaan,
dan kedaerahan .
- Proses pembangunan yg sedang berlangsung dan terus menerus
menimbulkan dampak positif dan negatif berupa terjadinya perubahan dan
pergeseran sistem nilai budaya sehingga dengan sendirinya mental
manusiapun terkena pengaruhnya .
- Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan
kondisi kehidupan mausia, menimbulkan konflik dengan tata nilai budayanya,
sehingga manusia bingung sendiri terhadap kemajuan yg telah diciptakannya.
0 komentar:
Posting Komentar