FENOMENA CHINESE DI INDONESIA



FENOMENA CHINESE DI INDONESIA



Di Indonesia perbincangan tentang orang chinese bukanlah hal yang asing lagi bahkan orang-orang chinese banyak kita jumpai pada kehidupan sehari-hari. Di sekolah, ditempat makan, di rumah sakit dan masih banyak lagi tempat yang bisa kita dapati terdapat orang-orang chinese.
Dibawah ini ada dua tulisan. Yang pertama berjudul "Cina Atau Tionghoa?" yang merupakan tulisan Rinto Jiang. Dan bagian 2 adalah tulisan penulis yang berjudul "Fenomena Cina, China dan Tionghoa. Diambil dari situs Budaya-Tionghoa.Net
Cina atau Tionghoa?
Sebenarnya, diskusi tentang istilah Cina atau Tionghoa ini sudah sering didiskusikan, baik secara terbuka maupun tertutup.  Daripada membahas dan menekankan penggunaan kata "Tionghoa" yang dianggap lebih "tinggi" derajatnya daripada kata "Cina", saya sendiri lebih suka menggunakan sudut pandang bias untuk meneliti masalah ini. Sosialisasi kata "Tionghoa" untuk menggantikan kata "Cina" yang memang dipolitisir untuk maksud menghina di masa lalu nampaknya menjadi jalan satu-satunya untuk mengurangi dan mengimbangi kesalahan sejarah di masa lalu. Namun saya rasa, sosialisasi kata "Tionghoa" ini hanyalah akan menambah dalam politisasi kata "Cina" tadi. Menjadikan sesuatu menjadi dipantangkan itu malah akan menjadikan objek menjadi tidak kebal akan pantangan tadi.
Istilah Cina dan Tionghoa menjadi sensitif di Indonesia karena fenomena khusus yang terjadi di Indonesia yang membedakan Tionghoa di Indonesia lain dan lebih spesifik daripada Tionghoa di negara lainnya. Namun, apakah kita akan terus memelihara dan meneruskan tradisi sensitivitas ini? Perlukah kata "Cina" dihilangkan dari peredaran dan dimuseumkan dalam kosa kata hubungan antar-etnis di Indonesia. Saya pribadi merasa tidak perlu, sengaja menekankan penggunaan kata "Tionghoa" hanya akan menambah polarisasi antara "Cina" dan "Tionghoa". Di masa depan, "Cina" akan tetap menjadi sebuah kata yang dapat menyebabkan orang yang diejek menjadi senewen dan bad-mood. Coba bandingkan saja dengan kondisi sosial masyarakat di Singapura, Malaysia yang sama-sama menggunakan bahasa Melayu. Di sana, tidak ada masalah Tionghoa vs Cina.
Jadi, melihat beberapa point penting ini, saya sendiri menyarankan untuk:
1. Tidak usah terus memelihara kontroversi dan polarisasi Tionghoa versus Cina. Artinya, tidak usah menekankan bahwa Tionghoa adalah lebih baik daripada Cina atau Cina lebih buruk daripada Tionghoa. Bila tak dapat dilakukan pada generasi kita, lakukan pada generasi mendatang. Tanamkan bahwa Tionghoa dan Cina tak ada bedanya. Bila seseorang mau mengejek, mengucapkan "Tionghoa" juga bisa bernada mengejek. Bandingkan saja dua kalimat ini, "Aduh, Rinto itu memang Tionghoa jahanam" dan "Mas Lim itu Cina dermawan koq". Nah, ada yang tanya mengapa nama milis menjadi budaya_tionghua tidak menggunakan "budaya_cina", yah mudah saja jawabannya, karena Tionghoa dan Cina itu sama saja, mengapa harus menggunakan Cina? Demikian pula vice versa (sebaliknya).
2. Mulai dari kita sendiri, yang merasa diejek akan terus merasa diejek dan yang tidak merasa akan tidak merasa. Sebagai analogi, anggap saja Cina sebagai ejekan adalah sebuah penyakit influenza. Flu yang dianggap penyakit kecil di zaman sekarang sulit dibayangkan pernah jadi epidemi di tahun 1918. Sekarang ini, jarang ada orang yang meninggal karena flu (kecuali flu burung). Mengapa? Karena kita sudah punya imun. Melenyapkan virus flu dari bumi ini adalah tidak mungkin, mengapa kita tidak berusaha untuk hidup damai dengan sang virus dengan punya perisai imun? Demikian pula kata Cina, tidak akan mungkin dilenyapkan dari bumi ini, dari kosa kata dalam kamus bahasa Indonesia, jadikanlah sendiri ber-imun, bertelinga tebal untuk tidak merasa Cina adalah ejekan walau digunakan lawan bicara untuk mengejek.
Saya kira, politisasi Tionghoa itu juga sama saja dengan politisasi Cina. Cina tidak bermasalah sampai dipolitisir, nah, mengapa kita harus memelihara masalah tersebut dengan berusaha menggantikan Tionghoa untuk Cina? Sejarah boleh mencatat Cina pernah dikonotasikan merendahkan, namun jangan teruskan konotasi rendah tersebut dengan mengangkat sebuah konotasi tinggi Tionghoa. Biarkan keduanya bersanding bersama. Saya yakin, ini adalah sebuah jalan terbaik untuk pemecahan jangka panjang masalah Cina vs Tionghoa di Indonesia. (Rinto Jiang).
Fenomena Cina , China Dan Tionghoa
Aku sendiri terganggu dengan pemakaian kata CHINA ini, aku membacanya kalau masyarakat, terutama non-Tionghoa, sedang 'kebingungan' untuk menyebut masyarakat Tionghoa. China itu ibarat masa transisi dari Cina ke Tionghoa, menyebut Cina merasa tidak enak lagi, tapi lidah juga belum sampe ke Tionghoa / Tiongkok.
Munculah istilah 'aneh' China ini (dengan lafal bahasa Inggris terselip diantara belantara kata bahasa Indonesia). 'Fenomena' ini kutangkap sejak penggunaan Tionghoa mulai dipopulerkan. Aku mendapatkannya bukan hanya di MetroTV, tapi juga di koran lokal di Kalimantan Barat. Kata 'China' terutama digunakan untuk merujuk ke Republik Rakyat Tiongkok , karena sampai saat ini, istilah Tiongkok hanya 'populer' diinteren masyarakat Tionghoa saja. Sehingga apakah fenomena 'China' ini muncul karena belum populernya istilah Republik Rakyat Tiongkok ato Tiongkok? Sampai kapan istilah 'China' ini akan terus muncul ditengah perdebatan 'Cina' dan 'Tionghoa'.
Setelah melihat program "Padamu Negeri", tampak perdebatan tentang penggunaan istilah Cina atau Tionghoa yang belum selesai.
Yang keberatan dengan penggunaan Cina adalah para senior Tionghoa yang direpresentasikan oleh INTI, dan juga sekelompok anak muda Tionghoa yang aktif dalam isu ke-Tionghoa-an yang direpresentasikan oleh JTM. Sedangkan untuk kaum muda Tionghoa 'kebanyakan' yang direpresentasikan oleh mahasiswa Binus dan Untar, terlihat 'netral'.
Memang betul, istilah 'Cina' di Indonesia mengambil start yang kelam, dan meninggalkan trauma sangat tidak menyenangkan bagi sekalangan masyarakat Tionghoa yang sempat merasakan proses transisi penggunaan 'Tionghoa' ke 'Cina', namun proses perjalanan waktu (dan perubahan generasi) telah membuat istilah 'Cina' juga mengambil nuansa yang berbeda dibanding saat pertama istilah itu wajib digunakan, nuansa itu muncul dalam generasi Tionghoa saat ini yang secara kasar dicerminkan dari pendapat yang muncul di sekelompok mahasiswa Untar dan Binus yang mewakili kalangan Tionghoa muda pada umumnya (maksudnya yang tidak terlibat aktif dalam isu advokasi ke-Tionghoa-an).
Nuansa itu juga muncul di masyarakat non-Tionghoa. Istilah 'Cina' tidak lagi hanya semata-mata menjadi alat yang digunakan untuk merendahkan / menghancurkan secara mental sekelompok masyarakat yang leluhurnya berasal dari Tiongkok, namun sudah menjadi suatu istilah 'umum' untuk merujuk ke masyarakat tersebut. Masyarakat non-Tionghoa sudah terbiasa dengan kata 'Cina'.
Menurutku saat ini, kata 'Cina' tidak lagi hanya menggambarkan umpatan / hinaan / pelecehan, namun juga menjadi kata yang terlekat makna positif (selain untuk merujuk identitas etnis). Aku mengambil contoh di Kalimantan Barat , dimana jika seorang anak dikatakan seperti anak Cina, maka itu berarti anak yang cantik / manis . Dalam konsep pemikiran masyarakat non-Tionghoa di Kalimantan Barat , orang Cina itu cantik dan tampan (mungkin itu yang menyebabkan kosmetika berpemutih laku keras di indonesia ;P). Juga orang Cina itu dikenal dengan keuletan dalam bekerja, dan menabung.
Cuman ya stereotype orang Cina itu kaya juga ada, namun dalam keseharian, masyarakat non-tionghoa Kalimantan Barat juga bisa melihat orang Cina yang ekonominya menengah ke bawah, dan jumlah itu juga tidaklah sedikit. Ada pengalaman waktu aku masih kuliah di universitas negeri , saat mengumpulkan lembar hasil studi (LHS) ke Tata Usaha. Waktu itu jamannya mahasiswa masih mengetik sendiri hasil ujian ke dalam lembaran itu, sehingga penghitungan rata-rata IPK juga dilakukan secara manual oleh mahasiswa bersangkutan.
Saat aku mengumpulkan, staff Tata Usaha-nya menyeletuk, "Kalo orang Cina, aku percaya dengan penghitungannya, pasti sesuai" . Maksudnya tidak akan berbuat curang dengan menambah rata-rata IPK yang menggunakan pembulatan. Sehingga pencocokan nilai hasil ujian yang tercantum di kartu kehadiran dengan yang diketikkan ke dalam LHS dilakukan dengan cepat oleh staff TU itu.
Karena penggunaan kata 'Cina' yang telah terbiasa selama beberapa puluh tahun, penggunaannya dalam percakapan sehari-sehari juga menjadi lumrah sebagai identitas etnis. Kita punya sense yang bisa merasakan kapan saat kita diumpat, ato disindir, ato disapa biasa. Sehingga kita juga tau kapan kita merasa biasa saja atau marah saat disebut sebagai orang Cina. Dalam contoh situasi yang kusebut tadi, tidaklah mungkin kita merasa tersinggung saat disebut sebagai orang Cina. Situasi seperti itu pulalah yang dijelaskan oleh mahasiswa Binus dan Untar.
Memang sebagian besar anak muda Tionghoa sekarang 'buta sejarah' tentang diri mereka (termasuk aku dulunya ), namun kupikir kita juga jangan mengesampingkan perkembangan kondisi yang ada sekarang yang menyangkut penggunaan kata 'Cina'.

0 komentar:

Posting Komentar

Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 Siti Evi N All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates