Digital Cinema



DIGITAL CINEMA
(PERBEDAAN DUNIA PERFILMAN SEBELUM  ERA DIGITAL DAN SAAT ERA DIGITAL)
 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif. Meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja. Film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital.
Sinema digital merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan dan menayangkan gambar bergerak. Sebuah film dapat didistribusikan lewat perangkat keras, piringan optik atau satelit serta ditayangkan menggunakan proyektor digital alih-alih proyektor film konvensional. Sinema digital berbeda dari HDTV atau televisi high definition. Sinema digital tidak bergantung pada penggunaan televisi atau standar HDTV, aspek rasio atau peringkat bingkai. Proyektor digital yang memiliki resolusi 2K mulai disebarkan pada tahun 2005, dan sejak tahun 2006 jangkauannya telah diakselerasi.
sinema digital dapat dibuat dengan media video yang untuk penayangannya dilakukan transfer dari format 35 milimeter (mm) ke format high definition (HD). Proses transfer ke format HD melalui proses cetak yang disebut dengan proses blow up. Setelah menjadi format HD, penayangan film dilakukan dari satu tempat saja, dan dioperasikan ke bioskop lain dengan menggunakan satelit, sehingga tidak perlu dilakukan salinan film. Contohnya, dari satu bioskop di Jakarta, film dapat dioperasikan atau diputar ke bioskop-bioskop di daerah melalui satelit.
Sebelum ditemukannya kamera digital, para filmmaker menggunakan kamera seluloid sebagai medium untuk memvisualisasikan skenarionya. Kamera film (begitu tipe kamera ini banyak disebut) merupakan kamera yang menggunakan bahan dasar (pita) seluloid berukuran 8mm, 16mm, 35mm, dan 70mm yang disesuaikan dengan tipe kamera itu sendiri. Kebanyakan filmmaker menggunakan kamera 35mm karena ukuran tersebut menghasilkan gambar yang pas untuk konsumsi layar lebar. Sayangnya, kamera film dibanderol mahal, harga sewanya pun sangat tinggi. Hal tersebut kerap membatasi para filmmaker dengan bujet yang minim untuk memproduksi film.
Kemunculan kamera digital di akhir tahun 1980-an yang digagas oleh Sony lewat perlengkapan kamera Sony HDVS-nya (awalnya ditujukan untuk keperluan broadcast televisi) membuat filmmaker mempunyai pilihan untuk mengambil gambar dengan biaya yang lebih murah. Meski begitu, para pembuat film lebih banyak setia dengan kamera film karena gambar yang dihasilkan jauh lebih baik. Seiring perkembangan zaman, teknologi digital semakin maju dan kini kualitas kamera digital bahkan dapat menyamai kamera film seluloid. Hal ini berimbas dengan banyaknya filmmaker dunia yang memilih untuk menggunakan kamera digital dibandingkan seluloid, tak terkecuali Hollywood. 
Penggunaan kamera digital dalam industri film Hollywood dipelopori oleh George Lucas yang mengembangkan kamera Sony HDW-F900 yang digunakan pada Once Upon Time in Mexico (2001). Film garapan Robert Rodriguez tersebut dikenal sebagai film pertama yang seluruh gambarnya diambil dengan kamera digital berformat 24 fps. Satu tahun kemudian, Lucas menggunakan kamera yang sama untuk filmnya, Star Wars Episode II: Attack of the Clones. Tahun 2009 bisa dikatakan sebagai momen penting bagi perkembangan kamera digital di industri film dunia. Pada tahun tersebut, Slumdog Millionaire menjadi film pertama berformat digital yang mendapatkan penghargaan Best Cinematography di ajang bergengsi Academy Awards, disusul oleh dirilisnya Avatar yang hingga saat ini menjadi film berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah.
Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para sistem sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor digital dan meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang dikenal dengan nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film digital dengan resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960 atau 8.8 megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel seluloid, namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk hard-drive yang nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan menayangkan filmnya.
Tahun 2002, major studios Hollywood membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.
Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat produksi seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar akibat perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal adalah Kodak (meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau, para filmmaker dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era digital telah memegang peranan penting dalam industri film dunia.


Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_digital
http://cinemags.id/perkembangan-era-digital-dalam-dunia-perfilman/

Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 Siti Evi N All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates